Minggu, 21 Agustus 2016


RASUL GUBUG GEDHE 
DESA NGALANG, KECAMATAN WONOSARI
KABUPATEN GUNUNGKIDUL


          Rasul atau yang biasa di sebut sebagai bersih desa , acara ini selalu menjadi acara rutin tiap tahunnya yang dilaksanakan oleh tiap tiap desa di Kabupaten Gunungkidul. Namun Rasul Gubug Gedhe ini menjadi Rasul termeriah di antara desa-desa lain di Kabupaten Gunungkidul. Yang biasanya diadakan satu tahhun sekali pada hari Senin Pahing atau Minggu Pahing.

            Acara tersebut merupakan ungkapan rasa syukur warga Desa Ngalang atas nikmat dan rezeki yang di berikan oleh Yang Maha Kuasa. Acara ini diadakan setahun sekali dan pada tahun 2016 ini telah diadakan pada tanggal 31 Juli 2016 kemarin. Acara berlangsung secara meriah terdapat pasar malam serta kirab yang dilaksana kan di Gubug Gedhe atau Gubug yang berukuran besar.



 

https://desangalang.wordpress.com/sejarah/
 

       Akses menuju Gubug Gedhe ini pun cukup mudah hanya saja tidak ada patokan yang jelas jika saya terangkan disini. Jika anda dari arah Yogyakarta , anda tinggal mengikuti jalan Jogja-Wonosari, jika sudah sampai di pertigaan di SambiPitu anda belok kiri dan lurus terus. Ikuti jalan saja, jika kira-kira 17km anda coba tanya kepada penduduk sekitar, pasti akan di terangakan dengan senang hat. Kita juga dapat menikmati acara yang dilaksanakan setahun sekali ini gratis tanpa di pungut biaya, selain parkir tentunya. 

               Sejarah diadakanya acara Rasul ini pun sangat unik dan sudah lama dilakukan yaitu sejak jaman pemerintahan kerajaan Demak Bintara dari masa pemerintahan Raden Fatah, anak dari Prabu brawijaya Kertabumi di Majapahit.

            Prabu Brawijaya Kertabumi pergi dari tempat Gunung Genthong”, namun hambanya, Patih Harya Bangah tidak lagi mengikuti karena sudah menikah. Perginya Sang Prabu Brawijaya disebabkan karena tempat singgahnya sudah ketahuan Raden Patah beserta Sunan dan wali.

           Alkisah, Sang Prabu Brawijaya memberi ijin pada Harya Bangah (untuk tidak mengikuti) serta memberikan nama “MELES” supaya tidak mencolok, serta diberi wejangan jangan sampai membuka rahasia bahwa sang Prabu sudah pergi.

Waktu berlalu, Eyang Meles tinggal di bulak Beran . Eyang Meles sudah masuk agama Islam dan keturunannya menjadi cikal bakal warga Ngalang. Sebagai yang dituakan, Eyang Meles selalu rajin belajar, serta memberikan teladan terhadap setiap pengikutnya dalam hal ibadah, olah tani, budi pekerti, dan tingkah laku; lebih-lebih dalam hal budaya.

Setelah panen, Eyang Meles selalu mengadakan (nanggap) tledhek  (penari) untuk tayuban. Tradisi  untuk melestarikan budaya itu juga dimaksudkan untuk memberikan hiburan pada pengikutnya (yang menjadi penduduk desa) dan anak-anak gembala. Anak-anaknya, Eyang Kopek dan Eyang Kalangbaya juga mewarisi minat tersebut untuk melestarikan dengan mengadakan Nyadran serta tayuban.


               Suatu saat, ketika panen sudah selesai, Eyang Meles, Eyang Kopek, dan Eyang Kalangbaya belum mengadakan tayuban. Padahal, penduduk desa sudah menanti-nanti kapan diadakannya tayuban. Tak sabar menunggu, anak-anak gembala berdiskusi untuk mengadakan acara tayuban sendiri. Penari didatangkan dengan inisiatif sendiri dan semua biaya ditanggung bersama-sama. Tempat yang ditentukan di tengah-tengah di bulak tersebut.

       Tempatnya di alam terbuka, akhirnya untuk memperelok tempat dibuatlah gubug dari bambu dengan atap kelapa. Karena besar ukurannya disebut Gubug Gedhe (Gedhe = besar); yang menjadi cikal bakal acara tersebut.




SUMBER :



 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar